. Gaya Hidup dan Perilaku Konsumsi Kelas Menengah Urban Di Jawa Timur
Dalam rangka merespon pertumbuhan perekonomian global yang makin lama massif beragam usaha udah dikerjakan pemerintah Indonesia untuk mendorong kecintaan masyarakat pada produk-produk di dalam negeri. Kampanye supaya masyarakat lebih menentukan product di dalam negeri dan tidak silau oleh merk-merk branded berasal dari luar negeri ini penting dilakukan mengingat mayoritas masyarakat kelas menengah di Indonesia sementara ini tersedia indikasi condong lebih menyukai produk-produk luar negeri dibanding product lokal. Padahal jika senang dilacak lebih teliti, tidak sedikit product bermerk berasal dari lifestyle dalam negeri yang dijual di pasaran lokal, barangnya dibikin oleh produsen di dalam negeri.
Ketika Indonesia udah masuk di dalam jaman perdagangan global, sesungguhnya tidaklah kemungkinan membendung arus masuk beragam product berasal dari luar negeri. Ketika hubungan perdagangan antarnegera makin lama terbuka, tidak benar satu konsekuensi yang tak terhindarkan adalah masuknya beragam product impor, mulai berasal dari kelas mahal, hingga produk-produk dengan harga yang benar-benar murah. Barang-barang impor berasal dari China apabila dikenal dengan harganya yang murah, supaya senang tidak senang dapat memasang entrepreneur product di dalam negeri pada posisi yang serba dilematis. Di sedang kepungan product import yang berkelas dan membanjirnya produk-produk berasal dari luar negeri yang impresif, wajib dianggap tidaklah mudah bagi entrepreneur di dalam negeri untuk mampu senantiasa survive.
Berbagai belajar sesungguhnya kerapkali menunjukkan bahwa konsumsi product import terbaru (new arrival) dan lebih-lebih seringkali memuja produk-produk kapitalis yang bermerk adalah bagian berasal dari lambang standing yang dikonsumsi sehari-hari orang-orang kelas menengah yang berasal dari segi ekonomi mapan. Sementara itu, di dalam soal politik, kerap terjadi kelas menengah adalah bagian berasal dari group masyarakat yang bersikap acuh tak acuh, gara-gara pada dasarnya mereka lebih menyukai situasi yang udah mapan daripada wajib menghadapi gejolak situasi yang tidak menentu.
Studi yang dikerjakan penulis menemukan bahwa tingkah laku dan pola konsumsi kelas menengah di Provinsi Jawa Timur secara lazim tetap belum pro product di dalam negeri Peluang pemasaran dan penggunaan product di dalam negeri di kalangan generasi muda boleh dikata tetap benar-benar kecilgara-gara belum diketahui dan dirasakannya ”nilai lebih” product di dalam negeri apabila dibandingkan produk-produk import. Gaya hidup dan selera kelas menengah yang lebih banyak terkontaminasi dampak pertumbuhan modernisasi, membawa dampak pilihan dan pola konsumsi yang dikembangkan anak-anak muda di Provinsi Jawa Timur condong lebih banyak berkiblat pada Negara Barat dan Hongkong Style. Dalam konteks realitas sosial seperti ini, lantas apa yang mampu dikerjakan untuk tingkatkan peluang penggunaan product di dalam negeri di kalangan generasi muda di Provinsi Jawa Timur?
Dari segi keperluan bangsa dan negara, type hidup dan tingkah laku konsumsi kelas menengah yang merk import minded seperti ini pasti kontra-produktif. Di sedang keinginan pemerintah supaya masyarakat Indonesia mencintai product di dalam negeri dan untuk keperluan mendorong kemajuan usaha-usaha domestik tingkah laku konsumsi yang lebih utamakan produk-produk import, pasti dinilai kurang menguntungkan. Tetapi beragam usaha untuk membangun kecintaan kelas menengah pada produk-produk domestik atau product lokal dan usaha untuk menumbuhkan kecintaan pada product di dalam negeri sesungguhnya tidak dapat efektif jika cuma dikerjakan lewat sosialisasi atau kampanye ”Gerakan Aku Cinta Indonesia” yang sifatnya insidentil atau sekadar mentransplantasikan ide ini ke kalangan kelas menengah, tanpa dilandasi sistem internalisasi makna yang benar-benar mendalam. Dalam sistem perubahan sosial yang benar-benar cepat di jaman globalisasi –yang di dalam batas-batas khusus melahirkan gegar budaya yang lumayan gawat di kalangan kelas menengah usaha untuk memasyarakatkan dan merevitalisasi penggunaan memproduksi di dalam negeri senang tidak senang wajib dikerjakan dengan langkah beradu dengan tawaran produk-produk import yang acapkali lebih atraktif, tawarkan type hidup baru dan lebih-lebih gengsi.
Di sedang situasi perubahan type hidup masyarakat yang cepat dan persentuhan masyarakat postmodern, khususnya kelas menengah dengan tempat sosial, internet, dan perangkat teknologi Info lain, secara realistis wajib dianggap tidaklah kemungkinan sistem kecintaan terhdap product di dalam negeri dikerjakan semata cuma mengandalkan kepada stimulan nasionalisme dan romantisme heroisme jaman lalu, tapi tidak perhitungkan terjadinya perubahan type hidup masyarakat, khususnya di kalangan kelas menengah yang luar biasa cepat. Agar mampu menarik minat dan gairah kelas menengah, khusunya generasi muda supaya lagi menoleh dan bangga dapat product di dalam negeri maka di dalam konteks ini soal “kemasan” atau bagaimana memoles beragam product industri jadi benar-benar penting.
Dalam kajian Sosiologi-Ekonomi, udah banyak terbukti bahwa yang namanya tingkah laku konsumsi masyarakat seringkali tidak seutuhnya rasional, dan lebih-lebih tak jarang irrasional. Artinya, kala costumer membeli sebuah produk, tidak senantiasa yang jadi pertimbangan utama adalah hitung untung-rugi berasal dari segi ekonomis. Seseorang kala membeli sebuah produk, tak hanya perhitungkan kegunaan atau relevansi kegunaan berasal dari product itu bagi keperluan dirinya yang tak kalah penting acapkali pula yang jadi bahan pertimbangan adalah hal-hal di luar kegunaan instrinsik product itu, khususnya berasal dari perspektif Cultural Studies disebut gengsi, citra, dan beragam perihal yang terkait dengan type hidup (life style).
Adalah sebuah tantangan bagi para pelaku dunia usaha di dalam negeri bahwa untuk mampu memasarkan product yang dihasilkan kepada kelas menengah Indonesia maka pertanyaan kunci yang terutama adalah: apa yang mereka tawarkan sebagai ersatz berasal dari product yang mereka pasarkan? Bagi kalangan kelas menengah wajib disadari bahwa yang namanya product industri sesungguhnya adalah sebuah ikon: sebuah perlambang atau lambang yang merefleksikan kebanggan pada suatu hal hal. Seorang anak muda yang membeli kaos tertentu, misalnya, ia bukanlah cuma membeli sebuah product untuk menutupi tubuhnya. Tetapi bagi generasi muda makna kaos tak pelak adalah sebuah lambang yang mengekspresikan darimana mereka berasal, di posisi mana mereka dapat dinilai lingkungan sosialnya, dan kesan apa yang dapat terbangun jika mereka Mengenakan kaos itu. Hal yang mirip terhitung terjadi kala generasi muda membeli dan mempergunakan beragam product industri lain. Bagi kelas menengah Mengenakan kaos dengan logo Dagadu Yogyakarta atau kaos I Love Surabaya, pasti tidak dapat mirip rasanya apabila dibandingkan dengan kala mereka Mengenakan kaos dengan logo I Love Singapore, I Love MY, atau kasos yang Hard Rock Hotel yang di bawahnya tersedia tulisan Tokyo, Paris atau Praha.